23/02/14

Ini Dyah, Mahasiswi Kedokteran Unsoed yang Nyaleg

Ini Dyah, Mahasiswi Kedokteran Unsoed yang Nyaleg


Banyumas, - Dyah Handayani Nastiti (22), mahasiswi aktif di Fakultas Kedokteran Umum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah terlihat sibuk untuk berkampanye jelang pemilu 9 April mendatang. Meski sibuk dengan politik, Dyah masih berkonsentrasi menyelesaikan skripsinya.

Keinginan Dyah ikut berperan dalam program mensejahterakan masyarakat, mendorongnya terjun ke dunia politik. Ketertarikannya muncul saat ayahnya aktif di politik.

"Keluarga saya berdarah politik. Sejak SD meskipun tidak terlibat langsung saya sering menyaksikan saat ayah sering kampanye, awal dari situ saya tertarik," kata Dyah, putri mantan Bupati Purbalingga Triono Budi Sasongko, Jumat (21/2/2014).

Pagi hingga malam Dyah mengkampanyekan dirinya sebagai caleg dengan menghadiri sejumlah pertemuan. Kegiatan PKK, posyandu dan pengajian diikutinya.

"Ya jelas terganggu skripsinya tapi sudah jalannya, skripsi juga sudah bab akhir jadi tinggal revisi-revisi saja," ujarnya.

Maju sebagai caleg termuda dari partai PDI Perjuangan Dapil Banyumas III dengan nomor urut 6, Dyah optimis bisa menduduki kursi DPRD Kabupaten Banyumas meski harus bertarung dan berjuang keras melawan calon incumben dan calon-calon lainnya.

Karena untuk bisa melanggang dan menduduki kursi DPRD Kabupaten Banyumas, setidaknya Dyah harus mengumpulkan suara sebanyak 8 ribu suara.

"Ayah mendukung, tim sukses juga rata-rata dari keluarga," jelas dia yang dibantu ayahnya untuk modal kampanye.

Hingga saat ini, Dyah mengaku sudah menghabiskan dana sekitar Rp. 20-30 Juta untuk alat peraga kampanye dirinya. Sedangkan untuk pendaftaran menjadi caleg Dyah dimintai uang sekitar Rp. 20 juta sama seperti caleg-caleg lainnya.

Ketika ditanya mengenai politik uang, Dyah mengaku heran dan kaget pada masyarakat yang ditemuinya saat sosialisasi.

Menurut dia, banyak masyarakat yang menyangka jika dia ingin dipilih berani memberikan uang berapa kepada mereka. Hal tersebut yang membuatnya resah sehingga dia berharap agar masyarakat dapat memilih pemimpin mereka yang benar-benar berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan jangan hanya dipilh dari uang yang diberikan.

"Orang sudah cape berjuang mati-matian tapi hanya dijatuhkan pada serangan fajar dengan uang, Kalau bisa diubahlah, merubah masyarakat susah kalau tidak dari diri kita sendiri," ungkapnya.

Namun, ketika ditanya antara memilih menjadi dokter atau anggota dewan, Dyah sempat bingung. Pasalnya setelah lulus kuliah kedokteran, dia harus mengikuti pendidikan calon dokter atau koas selama dua tahun.

Sementara jika dirinya lolos sebagai anggota dewan, Dyah harus mengabdikan dirinya kepada masyarakat yang sudah memilihnya dan harus melupakan sejenak mimpi menjadi dokter.

"Kalau terpilih, saya akan cuti kuliah dulu dan konsentrasi menjadi anggota dewan," ujarnya.

Tapi, bukan hanya Dyah satu-satunya mahasiswa yang ikut meramaikan bursa caleg. Ada mahasiswa lainnya yang juga ikut nyaleg sebagai anggota dewan dari daerah pemilihan Banjarnegara yakni Yoga Bagus Wicaksana (22), mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto semester 8 ini maju sebagai caleg dari partai Hanura dengan nomor urut empat.

Namun uniknya, mahasiswa yang saat ini juga tengah menyelesaikan skripsinya tersebut lebih memilih berkampanye melalui jalur memijat yang sudah dilakoni dirinya dan keluarga-keluarganya terdahulu tanpa meminta bayaran sedikitpun.

"Saya berkampanye dengan cara pengobatan, karena keluarga saya memang tukang pijat," kata Yoga yang dalam sehari bisa berkampenye hingga tiga desa dan sudah 56 desa dilima kecamatan yang dia datangi

Untuk berkampanye tersebut, Yoga mengaku tidak perlu mengeluarkan uang. Hanya dengan memijat dari rumah ke rumah sambil memperkenalkan visi dan misinya serta menyadarkan masyarakat tentang politik uang, orang yang dibantu pijat tersebut malah menawarkan diri untuk dapat menjadi tim suksesnya dan membantu dirinya dalam pencalegan tanpa Yoga harus mengeluarkan uang sepeserpun.

"Tim sukses saya dari para pasien. mereka dengan sukarela sendiri mau bantu saya tanpa dibayar. malah mereka sendiri yang mengeluarkan uang untuk bantu saya," ujar dia yang selalu bingung jika memasang spanduk selalu hilang dan berpindah secara tiba-tiba ke tempat keramaian seperti pasar.

Meskipun tim suksesnya dari pasien yang dia sembuhkan dan tanpa meminta bayaran, Yoga tetap mempunyai dana untuk biaya kampanye yang juga berasal dari para simpatisan dan pasien yang pernah dia tolong sebesar Rp 30 juta. Sementara untuk biaya pendaftaran menjadi caleg dirinya hanya diminta sebesar Rp. 1,5 juta.

"Dulu pas mau daftar nyaleg dari partai lain rata-rata pada tanya ada uang Rp 100 juta ga. Karena tidak ada uang segitu akhirnya ada yang tawarin daftar Rp.1,5 juta sampai selesai," jelas Yoga yang harus memperoleh 10.000 suara agar bisa duduk di kursi DPRD Kabupaten Banjarnegara.

Dia mengakui jika pencalegan dirinya memang menyita waktu dalam pembuatan skripsi yang saat ini sudah memasuki bab tiga dan mulai melakukan penelitian-penelitian harus dihentikan selama dua bulan. Namun itu semua tidak menyurutkan niatnya untuk merubah wajah perpolitikan yang selama ini dianggap masyarakat kotor dengan adanya politik uang dan sebagainya.

"Dulu biasanya seminggu sekali pulang ke Bajarnegara," ujar Yoga yang terinspirasi dengan sosok kepemimpinan Jokowi.

Terkini