Kendati hampir dipastikan hari ini, seluruh rakyat Indonesia mengenal nama Prabowo Subianto, tapi dipastikan pula tidak banyak yang tahu Prabowo punya nama alias di lingkungan sahabat dekatnya yakni: Omar. Nama Omar dimaksudkan dan mengacu sebagai Omar bin Khattab, Sahabat Rasulullah Muhammad Saw yang perkasa. Capres (Calon Presiden) yang mantan Komandan Jendral (Danjen) Kopassus ini juga menyandang nama panggilan sandi : 08 (Kosong Delapan) yang melekat pada nama Prabowo. Tapi yang paling populer di kalangan sahabat Prabowo, nama panggilan Omar, untuk Prabowo lebih sering digunakan. Nama ini bagai memberi spirit dan dorongan para sahabatnya agar Prabowo mengikuti keteladanan Khulafaurassyidin: Omar Ibn Khattab, yang memiliki jiwa kepahlawanan dan pemberani mendampingi Rasulullah Muhammad Saw saat menegakkan Islam. Kini ketika ia tampil menjadi Capres pada Pilpres 2014, ia acap dipanggil Haji Prabowo Subianto.
Panggilan Prabowo diawali dengan Haji, dipastikan bukan dimaksudkan untuk “membedaki” dirinya agar tampak menjadi Islami, dekat dengan Islam dan kalangan/umat Islam. Prabowo justru mencuat namanya karena kedekatannya dengan kalangan Islam pada tahun-tahun menjelang dan sesudah keruntuhan Presiden Soeharto (1998) yang juga mertuanya itu. Bahkan sejak 1988 ketika Presiden Soeharto mengubah haluan politik dengan merangkul Islam–dengan direstui berdirinya ICMI dan Bank Muamalat–kalangan minoritas yang merasa tersingkir mengkritik kebijakan Soeharto itu sebagai melahirkan politik Islam yang semakin mewarnai DPR-MPR juga kabinet yang disebutnya sinis : Ijo-Royo-Royo. ABRI pun diseretnya mengikuti trend politik ini dan dijuluki sebagai ABRI Hijau. Sejumlah jendral yang ikut menyemarakkan ABRI Hijau antara lain : Jendral Feisal Tandjung dan Jendral R. Hartono, masing-masing menjabat sebagai Pangab (Panglima ABRI) dan Kasad (Kepala Staf AD). R. Hartono tanpa segan-segan justru menjawab sindiran warna Hijau ABRI dengan perintah yang “galak”, “Setiap prajurit ABRI harus fanatik dengan agamanya,” seraya menjabarkan dengan kefanatikan itu maka setiap prajurit dengan agama apapun yang dianutnya akan menjadi taat dengan perintah agamanya dan akan menjadi kekuatan pembela Negara yang tangguh.
Di sekitar isu Ijo-Royo-Royo yang minor terhadap aspirasi umat Islam itu, Prabowo berdiri dan dianggap sebagai salah satu ABRI Hijau, bersama perwira-perwira muda lainnya, seperti : Fachrurozi (Jendral TNI), Subagyo HS (Jendral TNI), Sjafrie Sjamsoeddin (Letjen TNI), Muchdi PR (Mayjen TNI), Kivlan Zen (Mayjen TNI), Ghaffar Rachman (Mayjen TNI), Amphi Tanoedjiwa (Mayjen TNI), Adityawarman (Brigjen TNI), dan seterusnya. Tatkala Prabowo semakin dekat dengan citra ABRI Hijau itu, diam-diam Prabowo sudah berinisiatif “menyambangi” (sowan) menemui sejumlah tokoh Islam, seperti M. Natsir di kediamannya Jalan Jawa (kini Jalan HOS Cokroaminoto) No. 46 Menteng Jakarta Pusat. Penulis melihat pertemuan itu, di mana saat mau masuk ke rumah M. Natsir, Prabowo sempat melepas cincin emas dan kalung miliknya dititipkan pembantu M. Natsir, Sdr Aswadi. Saat itu Prabowo menduduki jabatan sebagai Komandan salah satu Group Kopassus berpangkat mayor.
Mengapa Prabowo menjadi dekat dengan Islam? Padahal Prabowo Subianto adalah putra Begawan Ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia. Tidak ada jejak Islam. Riwayat Prabowo yang kariernya melaju pesat di Kopassus, sebagai Wadanjen, (Wakil Komandan Jendral), Danjen (Komandan Jendral), dan Pangkostrad, kiranya bisa menjawab pertanyaan itu.
Sejatinya yang mendasari sikap itu, karena Prabowo memiliki jiwa patriot sejati yang diiringi kejujuran jiwanya yang mendorong ia bersikap membela bahkan pro Islam yang diperlakukan diskriminatif sebagai mayoritas. Sekitar 1997 tatkala Prabowo sudah menduduki jabatan sebagai Wadanjen dan bahkan Danjen Kopassus, Prabowo acapkali mengundang dan hadir dalam diskusi politik-ekonomi di kalangan cendekiawan. Statemen Prabowo yang sangat kontroversial ditangkap kalangan minoritas, ketika ia acapkali menyampaikan pendiriannya bahwa: “Indonesia yang mayoritas hampir 90% penduduknya beragama Islam, maka sudah sewajarnya jika sistem yang dipakai adalah sistem yang Islam!” Prabowo kemudian memberikan contoh ilustrasi seperti yang kini berlaku di Philipina. Sistem yang berlaku di Philipina adalah sistem yang mengacu kepada tatanan Katolik. Hal itu menurut Prabowo sebagai sah-sah saja, karena penduduk Philipina mayoritas, 90%, beragama Katolik. Sikap Prabowo yang jujur ini sebenarnya hanya meneruskan pernyataan yang disampaikan BJ. Habibie yang sering menyatakan sikap pemerintah saat itu lebih adil dengan menganut asas proporsional. Komposisi anggota DPR-MPR juga susunan kabinet dikoreksi mendekati proporsional, walau belum proporsional mutlak.
Prabowo pun dianggap atau dituduh anti minoritas. Apalagi ketika diskusi sampai ke wilayah ekonomi, sikapnya yang amat terang-terangan membela ekonomi rakyat kecil seraya mengkritik dominasi konglomerat yang notabene terdiri 200-an kongkomerat keturunan Cina. Sejatinya Prabowo hanya membela hak-hak rakyat yang tersingkir di bidang ekonomi. Penulis, tahu Prabowo sangat bersahabat dengan PM Malaysia Mahathir Mohamad yang mampu melindungi hak-hak rakyat pribumi Melayu atas desakan dan dominasi peran ekonomi pendatang Cina dan India di Negeri Jiran. Mahathir sukses membela rakyat Melayu di Negeri Jiran. Mengapa tidak bisa diwujudkan di Indonesia, tanpa bermaksud mendiskriminasi golongan minoritas. Namun stigma sudah terbentuk seolah-olah Prabowo anti minoritas bahkan anti Cina. Tuduhan ini niscaya dirasakan berat bagi Prabowo, karena merasa diri tidak bermaksud mendiskriminasi siapapun, apalagi etnik tertentu Cina. Barangkali tatkala ia merancang partainya Gerindra dengan mencalonkan Ahok seorang Cina diusungnya menjadi Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, pada 2012, mendampingi Jokowi, mudah ditebak sebagai pembuktian untuk mementahkan tuduhan kepadanya yang diskriminatif bahkan anti Cina. Begitu halnya, dengan mengangkat beberapa orang yang diketahui sebagai korban penculikan, seperti Desmon Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang sebagai anggota penting di Gerindra, termasuk pembuktian yang lain.
Jiwa terbuka seorang Prabowo mengubah penampilan pasca kegagalan mencalonkan diri sebagai Cawapres bersama Megawati pada Pilpres 2009 yang lalu. Prabowo yang mewarisi kadar intelektual ayahandanya tidak ingin bersikap kaku menghadapi kritik-kritik keras yang menghantam dirinya. Barangkali cara yang ditempuh untuk membuktikan ia mencintai seluruh anak-anak negeri ini dengan cita-cita Gerakan Indonesia Rayanya (Gerindara), dan mengakomodasi siapapun anak-anak negeri ini termasuk mempromot Ahok. Yang terakhir ini, soal Ahok barangkali kembali bisa disalahpahami banyak pihak, khususnya umat Islam. Karena berpembawaan jujur, Prabowo sangat pantang berpura-pura.
Kedekatannya dengan kalangan Islam menjelang Pilpres Juli 2014 sekarang, seperti dirinci di muka, seperti kedekatan dengan para kyai niscaya bukan pura-pura, seperti ditampilkan peserta Pemilu, yang tiba-tiba menjadi akrab dengan pesantren, atau tiba-tiba mengenakan peci, dan berkalung sarung dan sorban. Kunjungan Prabowo ke kyai-kyai bukanlah hal baru. Tatkala ia menerima deraan tuduhan di sekitar lengsernya Presiden Soeharto, (1998), bahkan berakibat ia dicopot sebagai Letnan Jendral dan dinas TNI, ia menyingkir dan mendapat perlindungan dari para sahabatnya di dunia Islam. Prabowo mengungsi ke Jordania dalam perlindungan Pangeran Abdullah (kini Raja). Penulis berkesempatan menjenguk Prabowo di Amman Jordania dan mendapati Prabowo yang sangat dihormati para pemimpin Dunia Islam. Bersama ulama Indonesia KH. Cholil Ridwan (kini Ketua MUI), Prabowo direkomendasi Raja Jordania mengunjungi Qadafi di Libya, Pangeran Abdullah Raja Saudi Arabia di Istana Ryad. Karpet merah selalu dibentangkan menyambut kedatangan Prabowo di Negara-negara Islam itu. Bukti lain bersama-sama Ketua MPR Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Fadli Zon dan Muchdi PR, serta Ahmad Muzani, pada tahun 2000 kembali Prabowo mengunjungi Libya, Jordania, Irak, dan Iran di mana selalu dibentangkan karpet merah dan setiap kepala pemerintahan menyambut dengan hormat kedatangan Prabowo dkk dari Indonesia, negeri dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia.
Perhatiannya yang berlebih kepada Islam dipastikan karena sikap ksatrya sekaligus logika intelektual dan jiwa keadilannya karena memandang Islam memang pemilik negeri ini yang terbanyak dan sah. Ia pantas mendapat kue yang terbesar. Dalam perspektif itulah bisa dibaca pendiriannya berkaitan Islam menjelang dan menyongsong Pilpres 2014, di mana ia maju menjadi Capres bersaing dengan Joko Widodo. Bagi umat Islam jika ingin membaca jatidiri seorang Prabowo dari kacamata inilah bisa dibaca dengan jernih. Sebagai tambahan sikap persahabatan Prabowo terhadap kalangan Islam, baik dicatat tatkala ia hampir mengakhiri jabatannya sebagai Danjen Kopassus dan hendak diangkat sebagai Pangkostrad, Januari 1998, Prabowo mengundang tokoh-tokoh Islam dan ribuan santri untuk acara Buka Puasa Bersama di Markas Kopassus Cijantung Jakarta Timur. Di hadapan ribuan santri dan prajurit serta silih berganti berpidato Prabowo di mimbar, Prabowo menjanjikan untuk membersihkan para pengkhianat bangsa yang kini (saat itu 1998) mencengkeram NKRI sehingga terjeremus dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan. Deretan tokoh saling berpidato bergantian, mulai Ketua MUI. KH. Basri, Ketua Dewan Dakwah Dr. Anwar Haryono, Sekjen Dewan Dakwah Hussein Umar, Ketua Kisdi Ahmad Sumargono, Cholil Ridwan, KH. Abdul Rasyid, bahkan Rhoma Irama, Jimly Asshidiqie, Din Syamsuddin, Said Agil Munawar pun hadir di forum yang mengguncangkan para komprador itu. Hal ini untuk sekadar mengingat betapa Prabowo pernah sangat dekat bersama Islam. Karena prakarsa acaranya ini, Prabowo dituduh sektarian, anti minoritas. Dan kiranya untuk menetralisir tuduhan seperti inilah, belakangan Prabowo bersikap lebih luwes, dan teduh agar bisa dimengerti oleh semua kalangan yang beragam di negeri ini.
Prabowo bukanlah berlatar keluarga Islam yang puritan. Ia besar di lingkungan gaya hidup yang cenderung sekuler, dan banyak menghabiskan masa remaja di luar negeri. Walau demikian, ia tetaplah seorang Muslim, dan titel haji yang melekat pada dirinya karena ia memang melaksanakan haji beberapa kali umroh dengan penuh khusuk. Cholil Ridwan dalam sebuah acara Pengajian Politik Islam pernah menyanggah isu miring menjelang Pilpres yang menyebutkan Prabowo, bukan Islam, tidak pernah shalat. Kata Kyai Cholil ia pernah bersama-sama Prabowo dalam perjalanan di Timur Tengah dalam jangka dua minggu dan tidur di hotel yang sama dan ia selalu shalat jamaah Subuh bersama Prabowo. Prabowo shalat dan Islam. Entah karena keberpihakannya yang mendalam kepada Islam, tatkala banyak tokoh Islam memprakarsai berdirinya Partai Bulan Bintang, pada 1998, Prabowo bertindak mengulurkan bantuan finansial, sebagai dana awal untuk sosialisasi Partai Bulan Bintang yang baru berdiri pada 1998, ke seluruh Indonesia. Prabowo punya misi tertentu? Walllauhualam, catatan di atas dipastikan menjadi catatan faktual yang menyertai perjalanan seorang Prabowo Subianto alias Omar atau Kosong Delapan.
Penulis : HM Aru Syeif Assadulah
(Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam)
-Media Baca Hiburan Online-