Tan Malaka diusir Belanda dari tanah air pada
1922. Sejak saat itu, Tan Malaka mengembara ke sejumlah negara di
berbagai belahan dunia, salah satunya di Hongkong.
Selama dalam
pengembaraannya, Tan Malaka selalu menggunakan nama dan identitas
palsu. Di Kowloon, Hongkong, Tan Malaka menggunakan nama samaran Ong
Soong Lee.
Tan kabur ke Kowloon saat angkatan bersenjata Kwangtung,
Cap Kau Loo Kun atau Tentara Ke-19, terlibat bentrok dengan tentara
Jepang di Shanghai pada 1932.
Sialnya, di Koowlon, Tan Malaka
ditangkap oleh dua orang polisi rahasia Inggris. Tan Malaka ditangkap
usai turun dari kapal ferry yang menyeberangkannya dari Hongkong. Di
Hongkong, Tan Malaka bertemu dengan kawannya, Dawood.
Dalam buku
'Dari Penjara ke Penjara' diceritakan, Tan Malaka ditangkap oleh dua
orang polisi Inggris. Seorang Tionghoa dan seorang Benggali tinggi
besar.
"Dengan segala muslihat saya berusaha melepaskan diri dari
mata mereka, tetapi karena keadaan Kota Kowloon, di tengah-tengah malam
hari pula, tiadalah berhasil usaha itu. Saya tetap diikuti," kata Tan
Malaka.
Di kantor polisi Kowloon, Ong Soong Lee alias Tan Malaka
diinterograsi anggota I.S. (Badan Penyelidik) Inggris yang datang
langsung dari Singapura, Pritvy Chan. Selama interograsi, Tan Malaka
mendapat perlakuan kasar dari badan penyelidik Bengali tersebut.
Namun, akhirnya Privity Chan meminta maaf setelah Tan Malaka menunjukkan
paspornya. Privity Chan ternyata salah menduga, Tan Malaka bukanlah
seorang Filipina yang dicarinya yang tak lain adalah Dawood. Privity
Chan menyesal telah menangkap Tan Malaka.
Tan Malaka lantas
dipindahkan ke kantor pusat kepolisian di Hongkong. Dia kembali dihujani
pertanyaan. Kali ini Kepala Inspektur Polisi Hongkong Murphy yang
menginterograsi langsung.
"Sesampainya di kantor pusat Hongkong,
oleh Kepala Inspektur Polisi, Murphy, saya dihujani dengan pertanyaan
yang mengenai kepolisian dan gerakan kemerdekaan," kata Tan Malaka.
Singkat cerita, pada suatu hari di bulan Desember 1932, Tan Malaka
pemerintah Hindia Belanda mengirimkan wakilnya bernama Viesbeen untuk
menginterview Tan Malaka. Meski sempat menolak, Tan akhirnya mau
diinterview Viesbeen. Hal itu terjadi atas permintaan Murphy. Sebab,
Viesbeen tak percaya Tan menolak keinginannya.
Murphy memberi
jaminan kepada Tan Malaka bebas menjawab atau tak menjawab pertanyaan
Viesbeen. Saat interview, Tan ditunjukkan foto dirinya bersama serdadu
dan Kikoq di desa Sion Ching. Foto itu diperoleh dari Subakat saat
ditangkap di Bangkok.
Dalam interview inilah Tan berujar sebuah kalimat yang hingga kini sangat terkenal.
"Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi," kata Tan Malaka.
Murphy lantas meminta sekretarisnya untuk mencatat perkataan Tan itu.
Tak hanya itu, Tan Malaka juga memberi peringatan kepada pemerintah
Hindia Belanda.
"Topan di depan, jangan kehilangan kepala," kata Tan Malaka.
Maksud dari perkataan Tan itu adalah, jangan kehilangan akal dan jangan
kehilangan kepala karena dipotong. Namun perkataan Tan itu justru
ditertawai oleh Viesbeen. Padahal perkataan Tan itu terbukti pada 1942,
saat Belanda menyerah kepada Jepang. Saat itu Belanda tak hanya
kehilangan akal tapi juga kehilangan kepala.
"Sayang Viesbeen
sebelumnya 'nujum' itu terlaksana, sudah mati. Kabar ini kebetulan saya
baca dalam salah satu surat kabar," kata Tan Malaka.
Setelah
interview itu, Viesbeen mendesak Hongkong untuk menyerahkan Tan Malaka
ke Belanda. Tapi hal itu ditolak oleh pemerintah Inggris. Sebab, mereka
telah dua kali berjanji kepada Tan akan memegang teguh undang-undangnya
yakni akan melindungi pelarian politik yang berada di wilayah
kekuasaannya.
Setelah lima bulan ditahan, Tan Malaka akhirnya
dibebaskan dan diizinkan keluar dari Hong Kong. Hal itu terjadi akibat
desakan dari salah seorang anggota parlemen Inggris asal partai komunis
yang dikirimi surat oleh Tan secara diam-diam.
Tan dibolehkan keluar
Hong Kong dan pergi kemana dia suka. Tapi dia tidak diizinkan pergi ke
Filipina karena Amerika Serikat tak menghendakinya. Begitu juga Inggris
dan Belanda. Tan bingung harus pergi kemana. Semua negara yang ditujunya
dikuasai oleh penjajah yang menolaknya karena dinilai berbahaya.
Akhirnya Tan memutuskan pergi menuju Shanghai.(merdeka/5/2/14)
